Djarnawi Hadikusumo dilahirkan pada hari Ahad, tanggal 4 Juli 1920
di Kampung Kauman, Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Djarnawi. Setelah dewasa,
di belakang namanya ditambah dengan nama ayahandanya, Hadikusumo. Djarnawi
adalah putera dari Ki Bagus Hadikusumo dan Siti Fatimah/Fatmah. Dari garis
keturunan ayahnya, Djarnawi berasal dari keturunan keluarga RH. Lurah Hasyim,
yaitu seorang abdi dalem santri yang menjabat sebagai lurah bidang keagamaan di
keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Sementara dari garis ibunya, dia termasuk keturunan RH. Suhud yang juga seorang
abdi dalem santri keraton Yogyakarta. Dengan latar belakang seperti itu,
berarti Djarnawi berasal dari lingkungan keluarga yang berkultur abdi dalem dan
santri. Hanya saja, pada perkembangannya kemudian dia lebih tumbuh menjadi
seorang santri dan ulama yang disegani daripada seorang abdi dalem.
Djarnawi lahir dari keluarga yang berkecukupan. Hanya saja, salah
seorang kerabat ayahnya, yang bernama Ibu Sodik, meminta Djarnawi untuk diasuh
olehnya. Kebetulan Ibu Sodik ini belum dikaruniai keturunan hingga usia
senjanya. Djarnawi diasuh oleh Ibu Sodik selama satu tahun sebelum akhirnya
dikembalikan ke orangtuanya mengingat karena Ibu Sodik semakin lanjut usianya
dan sering jatuh sakit. Tak berapa lama setelah kembali hidup bersama kedua
orangtuanya, ibunya, Siti Fatimah, wafat. Untuk mengasuh anak-anaknya yang
masih kecil, Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Ibu Moersilah. Di bawah
asuhan Ibu Moersilah itulah Djarnawi menapak masa remaja dan dewasanya.
Pendidikan formal yang mula-mula ditempuhnya adalah Sekolah
Bustanul Athfal Muhammadiyah di Kauman. Selanjutnya, secara berturut-turut dia
meneruskan ke jenjang berikutnya, yaitu ke Standaardschool Muhammadiyah dan
Kweekschool Muhammadiyah. Pada tahun 1935 Kweekschool Muhammadiyah diubah
menjadi Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah. Di Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah
itulah tempat terakhir pendidikan formal Djarnawi Hadikusumo.
Dari uraian di atas tampak bahwa latar belakang pendidikan Djarnawi
semuanya berada di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Demikian pula guru-guru
yang pernah membimbingnya sebagian besar adalah tokoh dan ulama Muhammadiyah,
seperti K.H. Mas Mansur, K.H. Faried Ma`ruf, K.H. Abdul Kahar Mudzakir, Siradj
Dahlan dan H. Rasyidi. Selain itu, ketika bertugas di Sumatera, dia juga sempat
berguru kepada Buya Hamka dan Buya Zainal Arifin Abbas.
A. Aktivitas Djarnawi di dalam Muhammadiyah
Gerakan Muhammadiyah bagi Djarnawi bukanlah sesuatu yang asing
lagi. Sejak masih usia kanak-kanak, dia sudah begitu akrab dengan lingkungan
dan kultur Muhammadiyah. Apalagi keluarganya merupakan keluarga aktivis gerakan
Muhammadiyah. Selain itu, semua pendidikan formalnya dia tempuh di lembaga
pendidikan Muhammadiyah. Dengan demikian, hubungan Djarnawi dengan gerakan
Muhammadiyah sangatlah dekat yang kemudian dapat diketahui dari bebarapa
aktivitasnya setelah dewasa.
Aktivitas Djarnawi di dalam gerakan Muhammadiyah mulai dijalankan
sejak dia lulus dari Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat
penggodokan kader-kader guru dan juru dakwah Muhammadiyah. Pada saat itu,
tepatnya tahun 1937, setelah lulus dari Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah dia
diberi tugas oleh HB. Muhammadiyah (Pimpinan Pusat Muhammadiyah) untuk menjadi
guru agama Islam dan juru dakwah pada sekolah Muhammadiyah di daerah Perkebunan
Merbau, Medan, Sumatera Utara. Setelah itu, pada tahun 1938 sampai tahun
1942 dia dipercaya menjadi kepala sekolah Muhammadiyah di Medan. Selanjutnya,
sejak tahun 1944 sampai 1949 dia dipercaya untuk menjadi kepala sekolah di
sekolah Muhammadiyah Tebingtinggi, hingga September 1949, sebelum akhirnya
Djarnawi kembali ke Yogyakarta.
Selain aktif di lembaga pendidikan Muhammadiyah, sejak masih di
Merbau, Djarnawi aktif sebagai pengurus grup (ranting) Muhammadiyah Merbau.
Ketika pindah ke Tebingtinggi, dia aktif di Muhammadiyah Cabang Tebingtinggi.
Aktivitas Djarnawi di organisasi Muhammadiyah meningkat setelah dia pulang ke
Yogyakarta pada tahun 1949. Saat itu dia mulai tercatat sebagai salah seorang
anggota Majlis Tablig Pengurus Pusat Muhammadiyah hingga tahun 1962.
Selanjutnya, pada tahun 1962 Muhammadiyah menyelenggarakan Muktamar
ke-35 di Jakarta. Dalam Muktamar tersebut dia terpilih sebagai sekretaris II
Pengururs Pusat Muhammadiyah. Sesudah itu, pada Muktamar Muhammadiyah yang
ke-36 di Bandung tahun 1967 dia terpilih sebagai ketua III Pengurus Pusat
Muhammadiyah. Untuk periode-periode berikutnya, dia diangkat menjadi sekretaris
PP. Muhammadiyah berdasarkan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya
tahun 1978. Kemudian sebagai wakil Ketua PP Muhammadiyah berdasarkan hasil
Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta tahun 1985, dan sebagai anggota PP.
Muhammadiyah yang mengetuai bidang Tajdid dan Tablig yang mengkoordinasi Majlis
Tarjih, Tablig, Pustaka serta Lembaga Dakwah Khusus berdasarkan hasil Muktamar
Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1990.
Aktifitas di TAPAK SUCI PUTERA MUHAMMADIYAH
Aktivitas lainnya di dalam organisasi Muhammadiyah juga tampak di Perguruan Seni Beladiri Indonesia TAPAK SUCI PUTERA MUHAMMADIYAH. Keaktifannya ini bahkan sudah tercatat sejak masa-masa awal berdirinya TAPAK SUCI. Dulunya masih bernama Lembaga Perguruan Pencak Silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Lembaga Tapak Suci). Di lembaga ini nama Djarnawi tercatat sebagai salah seorang tokoh utama ketika didirikan pada tanggal 31 Juli 1963. Beliau adalah salah seorang tokoh utama yang paling banyak memberi pengayoman dan dukungan, disamping beliau juga telah menunjukkan kepiawaiannya dalam berorganisasi dan secara aktif mengedepankan gerakan TAPAK SUCI sebagai Gerakan Muhammadiyah, tidak saja pada saat berdirinya TAPAK SUCI, namun juga pada masa-masa perkembangan TAPAK SUCI. Beliau pula tokoh yang merumuskan do`a dan ikrar perguruan Tapak Suci. Pada kepengurusan periode pertama, Djarnawi didudukkan sebagai Pelindung. Selanjutnya, sejak tahun 1966 sampai 1991 beliau dipilih sebagai Ketua Umum lembaga perguruan pencak silat milik Muhammadiyah itu.
Aktivitas lainnya di dalam organisasi Muhammadiyah juga tampak di Perguruan Seni Beladiri Indonesia TAPAK SUCI PUTERA MUHAMMADIYAH. Keaktifannya ini bahkan sudah tercatat sejak masa-masa awal berdirinya TAPAK SUCI. Dulunya masih bernama Lembaga Perguruan Pencak Silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Lembaga Tapak Suci). Di lembaga ini nama Djarnawi tercatat sebagai salah seorang tokoh utama ketika didirikan pada tanggal 31 Juli 1963. Beliau adalah salah seorang tokoh utama yang paling banyak memberi pengayoman dan dukungan, disamping beliau juga telah menunjukkan kepiawaiannya dalam berorganisasi dan secara aktif mengedepankan gerakan TAPAK SUCI sebagai Gerakan Muhammadiyah, tidak saja pada saat berdirinya TAPAK SUCI, namun juga pada masa-masa perkembangan TAPAK SUCI. Beliau pula tokoh yang merumuskan do`a dan ikrar perguruan Tapak Suci. Pada kepengurusan periode pertama, Djarnawi didudukkan sebagai Pelindung. Selanjutnya, sejak tahun 1966 sampai 1991 beliau dipilih sebagai Ketua Umum lembaga perguruan pencak silat milik Muhammadiyah itu.
Dipercayanya Djarnawi untuk menduduki posisi Ketua Umum itu karena
dia dipandang sebagai seorang tokoh yang mumpuni, baik di bidang keagamaan,
kepemimpinan maupun bidang beladiri. Untuk bidang yang pertama dan kedua
telah dia buktikan melalui aktivitasnya sebagai pengurus Muhammadiyah.
Sementara untuk bidang yang terakhir, dia adalah mata rantai yang tidak bisa
diputuskan dalam sejarah besar Tapak Suci. Kepandaian Djarnawi dalam hal ilmu
beladiri pencak silat tersebut dipelajarinya semasa mudanya di Kampung Kauman,
yang kala itu Tapak Suci belum berdiri. Selain itu, ketika bermukim di Sumatera
dia sempat berguru ilmu silat kepada Sutan Chaniago dan Sutan Makmun, dua orang
pendekar yang memiliki nama besar di Wilayah Sumatera utara.
Sosok Djarnawi sesungguhnya adalah sosok seorang aktivis gerakan Muhammadiyah, baik dilihat dari latar belakang keluarga, pendidikan dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, dalam berkiprah di Muhammadiyah pun tidak tanggung-tanggung. Dia tidak hanya menfokuskan kiprahnya pada aktivitas secara praktis saja, tapi juga berusaha menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya untuk membesarkan Muhammadiyah. Kiprah Djarnawi melalui pemikiran-pemikirannya tersebut mulai muncul sejak dia duduk di dalam Kepengurusan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1962. Pada saat itu, dia bersama-sama dengan H. AR. Fachruddin dan HM. Mawardi diberi tugas untuk menggodok bahan-bahan rumusan Kepribadian Muhammadiyah yang telah disampaikan oleh tokoh-tokoh senior Muhammadiyah seperti K.H. Fakih Usman, K.H. Faried Ma`ruf, K.H. Wardan Diponingrat, Hamka, M. Djindar Tamimy dan M. Shaleh Ibrahim. Melalui kerja keras, akhirnya rumusan Kepribadian Muhammadiyah dapat diselesaikannya.
Sumbangan pemikiran Djarnawi lainnya bagi dinamika Muhammadiyah
juga tampak pada era 1980-an. Saat itu Muhammadiyah sedang dihadapkan pada
persoalan asas tunggal Pancasila yang kontroversial. Setelah melalui
pembahasan, pemikiran dan perhitungan yang cukup seksama, akhirnya pada
Muktamar yang ke-41 di Surakarta pada tahun 1985 Muhammadiyah menerima
kedudukan Pancasila sebagai asas tunggal ormas/orpol. Djarnawi termasuk salah
seorang anggota tim perumus, Djarnawi berpandangan bahwa Muhammadiyah bersedia
menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa
diartikan sebagai keimanan kepada Allah SWT. Penafsiran arti sila pertama dari
Pancasila tersebut menurutnya adalah untuk menghindari agar Muktamar tidak lagi
menolak asas Pancasila, maka Muhammadiyah akan sulit terlepas dari perpecahan
dan pembubaran yang tentu sangat merugikan Muhammadiyah sendiri.
Apa yang dikemukakan Djarnawi di atas mengingatkan semua orang pada
sikap ayahnya ketika terjadi ketegangan berkaitan dengan rumusan dasar negara
Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Penerimaan Muhammadiyah terhadap
asas Pancasila akhirnya melegakan semua pihak. Oleh karena itu Muhammadiyah
dianggap telah lulus dari salah satu ujian berat yang pernah dihadapinya dalam
perjalanan sejarahnya. Muktamar yang berjalan penuh dengan ketegangan itupun
kemudian ditutup dengan rasa haru dan gembira pada tanggal 11 Desember dengan
diiringi lagu Mars Milad Muhammadiyah yang diciptakan Djarnawi pada sekitar
tahun 1976.
B. Aktivitas Djarnawi di Bidang Politik.
Selain dikenal sebagai seorang tokoh Muhammadiyah, Djarnawi juga
dikenal sebagai seorang politikus. Hanya saja, tidak seperti aktivitasnya di
Muhammadiyah yang sudah digelutinya sejak usia dini, di bidang politik dia
mulai aktif setelah menginjak usia dewasa. Aktivitas Djarnawi berkaitan dengan
bidang politik diawali sekitar tahun 1945. Pada saat itu sampai sekitar tahun
1949 dia bergabung di dalam Batalyon Istimewa TNI (sekarang Kopasus) Brigade
XII Daerah Sumatera Utara. Hanya saja, pada saat dia pulang kembali ke
Yogyakarta, karir tersebut terputus.
Aktivitas Djarnawi di bidang politik mulai terlihat lagi setelah
memasuki pertengahan dekade 1960-an. Antara tahun 1966 sampai 1971 dia tercatat
sebagai anggota MPRS/DPRGR. Sementara itu, pada waktu yang hampir bersamaan,
pada bulan Februari 1968 berdiri Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Orang
yang kemudian dipercaya untuk menjadi Ketua Umumnya adalah Djarnawi Hadikusuma.
Jabatan tersebut diembannya hingga bulan November 1968. Selanjutnya, pada
tanggal 4-7 November 1968 Parmusi menggelar kongres. Di dalam kongres tersebut
Mr. Moh. Roem terpilih sebagai Ketua Umumnya. Hanya saja, karena dia adalah eks
tokoh Masyumi, sehingga kemunculannya tidak direstui oleh pihak pemerintahan.
Sebagai alternatifnya, maka Djarnawi kembali diangkat sebagai Ketua Umum
Parmusi untuk kedua kalinya.
Jabatan sebagai Ketua Umum Parmusi yang kedua itu dipegangnya
hingga tahun 1970. Pada tahun itu di dalam tubuh Parmusi mulai terjadi
perpecahan yang kemudian memunculkan kudeta atau pembajakan atas kepemimpinan
Djarnawi oleh H.J. Naro beserta para pendukungnya. Peristiwa tersebut terjadi
tanggal 17 Oktober 1970. Dengan adanya kejadian itu, maka di dalam tubuh
Parmusi muncul dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Djarnawi dan H.J.
Naro. Dualisme kepemimpinan dia dalam tubuh Parmusi itu akhirnya berakhir
setelah pemerintah sebagai pembina kehidupan parpol turut campur dengan
mengangkat H.S. Mintaredja sebagai ketua Umum Parmusi pada tanggal 20 November
1970. Dengan begitu, berakhirlah masa kepemimpinan Djarnawi di dalam Parmusi.
Setelah tidak lagi menjadi Ketua Umum Parmusi, pada awalnya ada upaya
untuk memposisikan Djarnawi sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai
Parmusi. Hanya saja, upaya itu digagalkan oleh pihak yang ingin menyingkirkan
Djarnawi dari Parmusi. Pembunuhan karir politik Djarnawi tersebut dilakukan
karena sikapnya dianggap bertentangan dengan pihak pemerintah. Begitulah, sejak
saat itu sampai akhir hayatnya, Djarnawi kembali ke basis awal gerakannya,
yaitu Muhammadiyah. Apalagi pada saat itu Muhammadiyah telah memutuskan untuk
kembali kepada jati dirinya sebagai gerakan sosial keagamaan.
C. Karya-karyanya.
Selain dikenal sebagai seorang aktivis dan praktisi, ternyata
Djarnawi juga seorang pemikir atau penulis yang produktif. Itulah kelebihan
Djarnawi dibandingkan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya yang seangkatan
dengannya. Menurut salah seorang putranya, yaitu Ir. Gunawan Budiyanto, MP.
bahwa sampai masa akhir hayatnya setidaknya Djarnawi sudah menulis sekitar 20
buah karya tulis selain beberapa tulisan lepasnya di berbagai media cetak,
seperti Suara Muhammadiyah, Suara `Aisyiyah, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos dan
The Indonesia Times.
Apabila dirinci, tulisan-tulisan karya Djarnawi dapat
diklasifikasikan menjadi lima bidang, yaitu bidang keislaman, sastera,
kristologi, sejarah dan pendidikan. Dari kelima bidang itu, tulisan yang paling
banyak adalah di bidang keislaman sekitas tujuh buah, yaitu : Risalah Islamiyah
(1973), Kitab Tauhid (1987), Ilmu Akhlak (1990), Kitab Fekih (t.t.), Ahlus
Sunnah Wal Jama`ah (t.t.), Bid`ah Khurafat (t.t.), Menyingkap Rahasia Maut
(t.t.), dan Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan (t.t.).
Adapun di bidang sastera karya tulis Djarnawi semuanya berjenis
novel. Di bidang ini ada enam karya yang dihasilkannya, yaitu Korban Perasaan
(1947), Penginapan di jalan Sunyi (1947), Orang dari Marotai (1949),
Pertentangan (1952), Angin Pantai Selatan (1954) dan Di Bawah Tiang Gantungan.
Untuk karyanya yang terakhir itu adalah terjemahan dari Guillotine, novel
tentang pergolakan pada saat Revolusi Perancis. Hanya saja hasil terjemahan
tersebut belum sempat diterbitkan.
Sementara di bidang sejarah (Islam) dia menulis sebanyak tiga buah,
yaitu Aliran-Aliran Pembaruan Islam: Dari Jamaluddin Al-Afghani sampai K.H.
Ahmad Dahlan (t.t.), Matahari-Matahari Muhammadiyah (t.t.) dan Derita Seorang
Pemimpin : Riwayat Hidup, Perdjoangan dan Buah Pikiran Ki Bagus Hadikusuma
(1979). Di bidang Kristologi dia menulis dua buah buku, yaitu Sekitar
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (t.t.) dan Buku Kristologi (1982). Di
bidang pendidikan dia hanya menulis sebuah buku yang diberinya judul Pendidikan
dan Kemajuan (1949). Selain itu Djarnawi menciptakan lagu yang berjudul Sang
Surya, yang kemudian menjadi mars Muhammadiyah.
D. Penutup
Djarnawi Hadikusuma wafat pada usia 73 tahun, tepatnya pada tanggal
26 Oktober 1993. Beliau meninggalkan seorang isteri, yaitu Sri Rahayu dan tujuh
orang putera. Sebenarnya putera Djarnawi ada sepuluh, tetapi yang tiga orang
meninggal ketika masih kecil. Adapun tujuh anak tersebut adalah Siswanto D.
Kusumo, Hartono, Pitoyo Kusumo, Darmawan Susanto, Sri Purwaningsih, Ahmad
Poernomo, dan Gunawan Budiyanto (PNS).
Sumber:
- Buku Ensiklopedi Muhammadiyah
- Sejarah TAPAK SUCI
- Buku Ensiklopedi Muhammadiyah
- Sejarah TAPAK SUCI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar